Kadal Lagi

Aku terus berjalan pulang sembari berfikir, sesampai dirumah, aku mencari dompetku yang sebelumnya memang sengaja kutinggal dirumah karena kupikir aku hanya berjalan ke tempat yang tak jauh dari rumahku.

Aku hitung, ternyata isinya memang sudah menipis mengingat hari itu memang sudah tanggung bulan sementar aku masih harus menyisihkan untuk keperluan rumah dan operasional kekantorku di bilangan BSD.

Akhirnya, aku ajak kembali Mahija ke tempat ibu itu, kebetulan kali ini sudah itu tak terlalu banyak anak-anak yang menghampirinya.

“Bu, tinggal dimana?” tanyaku pada ibu itu.
“Di Petamburan mas” ujarnya menyebut satu daerah.
Petamburan, tak terlalu jauh dari Slipi mungkin hanya sekitar 3-4 km, namun lumayan kalau berjalan kaki, pikirku. Lalu aku lanjutkan pertanyaanku “Dari Petamburan kesini jalan kaki, kah?”
“Iya”
“Ngomong-ngomong, darimana ibu dapat kadal-kadal ini, bu?”
“Ada kok yang jual, sekitar Jatinegara dan Kampung Melayu” Jawab ibu, sebut saja namanya Ibu Uyen.
“Berapa harganya, bu? Ibu bawa berapa banyak?”
“Murah, saya beli Cuma 500 perak dan saya beli 200 ekor, biasanya tiap hari paling tidak laku 15-25 ekor.”
“Lumayan juga ya, bu. Paling enggak, Sehari bisa membawa pulang 15 ribu rupiah. Tapi apa ibu gak kasian, gimana kalau kadal-kada itu pada mati, karena anak-anak pasti gak bisa memeliharanya?”
“Ya, sebenernya kasian, ini juga kadang ada yang mati. Tapi mau gimana lagi, mas… “ ujarnya mulai lirih, “Dirumah, saya punya dua orang anak yang masih kecil-kecil, suami saya sedang tidak bekerja, dia biasanya kerja sebagai kuli bangunan, tapi sudah beberapa minggu ini gak ada kerjaan, dirumah marah-marah terus mungkin karena pusing”.

Fiuh… so its not as simple as I thought at the beginning.

Singkat cerita, aku membeli beberapa ekor dan kubawa pulang.

Sesampai dirumah, aku jadi lebih bisa mengamati kecantikan hewan itu, aku keluarkan dua ekor dulu dari plastiknya, awalnya, mereka meronta-ronta dalam jepitan lembut jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan dan kiriku pada punggungnya, tak lama, keduanya mulai diam dan akupun melepaskan jepitan pada mereka. Kupikir, ketika aku lepaskan mereka akan segera lari. Ternyata aku salah, mereka justru bertengger diam saja di kedua telapak tanganku, tak ada usha untuk pergi, dan mereka hanya celingukan, melihat kiri dan kanan pemandangan baru yang mereka dapati. Aku mencoba menyentuh kulit punggungnya, ternyata bersisik segi lima namun tak licin seperti kulit ular, bergantian aku mengelus-elus kulit bersisik mereka, dan mungkin mereka menikmati sentuhan itu.

Masih penasaran, aku yang tadinya duduk, mencoba berdiri dan mereka tetap diam ditelapak tanganku. Merasa sudah cukup mengelus mereka, aku menaruh mereka berhadapan diatas dinding kolam ikan dihalaman rumah, kebetulan masih ada sedikit arean untuk pohon dan tanaman-tanaman kecil tanaman disana, sehingga menurutku, setidaknya mereka akan bisa hidup disana. Ternyata, ketika keduanya berhadapan, pemandangan makin indah kudapati, mereka memasang badan seperti atlet binaraga yang menggelembungkan biceps-nya, mungkin sebagai antisipasi karena mereka pasti memiliki naluri pertahanan diri, sebagaimana reptilian lain.

Sekilas, otak reptilian, merupakan jenis otak yang terdapat dalam jenis reptilian dengan karakter utama, pertahanan diri, ia membuat reptilian sangat hebat dalam bertahan dan menyerang, untuk mempertahankan dirinya. Sementara manusia, memiliki tiga jenis otak didalamnya, ada otak reptilian, otak mamalia (Limbic) dan Neo Cortex. Limbic mencirikan, kasih sayang, itu yang menyebabkan mamalia terlihat (antara lain) sangat menyayangi anak-anaknya, sementara Neo Cortex, adalah otak yang khusus ada didalam diri manusia dengan kemampuan berkreasi, menciptakan hal-hal baru dengan daya pikirnya.

Akhirnya, sebelum mereka bertengkar, posisi mereka yang berhadapan aku pindah, satu aku tempatkan disisi kanan kolam ikan dan satu lagi disisi kiri, keduanya lantas pergi mencari tempat masing-masing. Anakku melihat semua itu dan ia bertanya,
“Kenapa dilepas, pak?”
“Iya, kadal-kadal ini harus dilepas, biar mereka hidup bebas, mencari sendiri makanannya dan hidup bebas”.
Setelah itu, aku lepaskan lagi beberapa ekor ditempat berbeda untuk kemudian, aku ajak Mahija pergi, mengantarkan kadal-kadal lain yang masih ada diplastik ke tempat dimana mereka bisa hidup… semoga.

Aku hanya berusaha menanamkan rasa kepedulian kepada anakku, meski ia baru empat tahun, aku sangat ingin ia tumbuh menjadi manusia yang peduli pada sekitarnya, baik pada tumbuhan, hewan, apalagi sesama manusia, semoga hal kecil yang aku lakukan, berjalan dengan baik. Dan semoga pula, kita semua bersedia melakukan hal-hal kecil, mulai dari lingkungan terkecil, keluarga kita sendiri.

Lakukan sesuatu, ada banyak hal terjadi diluar sana.
Lakukan sesuatu, tak hanya diam.
Lakukan sesuatu, tak perlu menunggu.
Lakukan sesuatu, ada banyak hal yang bisa menjadi lebih baik.

Sekarang, kepalaku tegak, karena tekadku makin bulat untuk berupaya melakukan sesuatu, aku tak peduli, sekecil apapun hal itu dimata orang lain, setidaknya, aku berbuat dan akan selalu berbuat.

Untuk ibu pertiwi.

~ oleh hirawana pada April 27, 2009.

Satu Tanggapan to “Kadal Lagi”

  1. kerens

Tinggalkan komentar